Kamis, 22 Mei 2025

Murianews, Kudus – Belakangan ini marak kasus percobaan pembunuhan pada diri sendiri. Baik itu berhasil diselamatkan, maupun tak tertolong.

Ironisnya, peristiwa itu tak hanya dilakukan orang dewasa. Beberapa hari belakangan terjadi kasus bunuh diri menimpa anak-anak hingga remaja.

Seperti bocah SD lompat dari lantai empat gedung sekolahnya di Jakarta Selatan. Peristiwa serupa menimpa siswa SMP di Cengkareng.

Terbaru, peristiwa dua orang mahasiswi di Semarang ditemukan tewas di lain tempat dan waktu. Pertama tewas usai jatuh dari lantai 4 gedung Mal dan satu lagi ditemukan tewas di kamar kosnya.

Peristiwa ini makin menegaskan adanya kegawatdaruratan kesehatan mental. Psikolog Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah Naily Fitriani mengatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan mental hingga berujung bunuh diri.

Pertama, pelaku merasa tertekan dengan kondisi lingkungan, beban hidup, atau stress yang menyebabkan hendaya lemah. Selain itu, kondisi fisik yang kurang berdaya juang dalam menghadapi tekanan atau stress juga menjadi faktornya.

”Mindset yang salah dalam memahami permasalahan kehidupan, pengelolaan emosi yang tidak adekuat, dan minimnya sentuhan keagamaan juga menjadi faktor-faktor yang menyebabkan seseorang keliru dalam mengambil sikap bahkan justru berbuat nekat,” kata perempuan yang menjabat Sub Koord Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Dinsos Jateng itu.

Ia mengatakan, kunci utama untuk mencegahnya adalah komunikasi. Orang yang mengalami masalah itu terbuka dan yang diajak bicara harus menjadi pendengar yang baik.

Kemudian, mindset memahami suatu permasalahan kehidupan tidak boleh salah. Mereka harus didampingi agar terhindar dari perilaku yang salah.

Naily menyebut ada dua ujung dari tekanan yang diterima seseorang. Pertama seseorang akan depresi dan dapat berujung pada bunuh diri. Kedua menjadi psikopat.

”Psikopat cenderung menyakiti orang lain. Ketika mengalami tekanan ia melampiaskannya dengan menyakiti seseorang. Sedangkan, depresi cenderung menyakiti diri sendiri dan ini dapat berujung putus asa hingga bunuh diri,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Psikolog Sri Aryanti Kristianingsih. Kesehatan mental yang bermasalah menjadi faktor penyebab seseorang bunuh diri. Pemicunya bahkan bisa datang dari orang terdekatnya.

Pemberitaan kasus bunuh diri secara besar-besaran oleh media juga bisa menjadi pemicu seseorang melakukan Copycat Suicide atau meniru perilaku bunuh diri yang dikabarkan orang lain.

”Orang bunuh diri itu enggak ujug-ujug. Ada niatan dan upaya-upaya sebelumnya. Informasi-informasi tentang kasus bunuh diri lalu dipaparkan secara detail justru semakin menumbuhkan dan menguatkan orang yang sedang depresi untuk melakukan hal yang sama,” papar Dosen Psikologi UKSW Salatiga itu, dikutip dari Suara.com.

Ia pun meminta awak media menyampaikan informasi peristiwa bunuh diri secara bijak. Jangan sampai informasi yang disampaikan ditiru orang-orang yang punya resiko besar melakukan bunuh diri.

Untuk mencegah kasus bunuh diri, Sri meminta semua orang untuk menjadi lingkungan yang positif bagi siapapun. Caranya dengan memperhatikan perilaku orang-orang terdekat disekitar kita.

Misal ada teman yang tiba-tiba perilaku berubah yang tadinya ceria mendadak murung berhari-hari. Patut didekati dan tunjukkan rasa kepedulian dengan menjadi pendengar yang baik jika dia mau bercerita.

”Dengan kepedulian itu paling tidak bisa jadi penolong dan jadi suport sistemnya. Sehingga dia akan berpikir ternyata masih ada orang lain yang peduli dengan saya,” tukasnya.

Kaba Psikologi Biro SDM Polda Jateng AKBP Novian Susilo pun meminta siapapun untuk tidak menyebarkan konten-konten yang berkaitan dengan bunuh diri.

Dia juga meminta media-media untuk tidak menampilkan secara gamblang misalnya surat wasiat yang ditinggalkan para korban.

”Di ilmu psikologi ada perilaku meniru, jadi tolong jangan dieksploitasi,” beber Novian.

Lelaki berkaca mata lalu mengungkapkan pencegahan kasus bunuh diri merupakan tanggungjawab semua pihak termasuk keluarga, lingkungan tempat tinggal, guru atau dosen, instansi pemeritah dan pihak-pihak lainnya.

”Misal di kalangan pendidik dia harus punya kompetisi konselor dan bisa melihat perubahan perilaku anak didiknya yang sedang punya masalah,” ungkapnya.

 

Komentar

Sehat Terkini

Terpopuler